Metrovisi.com, Kupang-NTT Perjuangan Himpunan Pengusahan Peternak Sapi dan Kerbau ( HP2SK) NTT selama tiga tahun dalam memperjuangkan perubahan regulasi yang dinilai memberatkan petani dan pengusaha ternak, akhirnya menenui titik terang. Komisi II DPRD NTT resmi menyepakati revisi Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 52 Tahun 2023 tentang Tata Niaga Ternak.
Ketua Umum HP2SK NTT, Tono Sufari Sutami, mengapresiasi langkah progresif yang diambil DPRD NTT. Ia menyebut, perjuangan HP2SK selama ini bukan tanpa dasar, melainkan lahir dari realitas kesulitan yang dihadapi langsung oleh para peternak.
“Kami sudah menyampaikan permohonan ini sejak tiga tahun lalu. Baru di 2025 ini terlihat progres nyata. Petani butuh perputaran uang cepat, tapi pengusaha enggan membeli sapi karena berat badan minimal 275 kilogram dalam Pergub tak bisa dipenuhi,” kata Tono usai Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi II DPRD NTT beberapa waktu lalu.
Ia menegaskan bahwa HP2SK telah mengusulkan agar batas minimal berat badan sapi diturunkan menjadi 250 kilogram, serta syarat luas lahan penggembalaan (rengers) dikurangi dari 50 hektar. Pasalnya, sebagian besar pengusaha sapi di NTT masih skala kecil dan tidak memiliki lahan seluas itu.
“Semoga usulan ini bisa diakomodir agar tidak membebani pengusaha lagi,” katanya.
Sementara itu, David Anunut, pengurus HP2SK lainnya, menyampaikan kekecewaannya terhadap rumor yang menyebut adanya praktik jual beli rekomendasi dalam pengiriman ternak. Ia menilai isu tersebut tidak berdasar dan justru merugikan citra pelaku usaha ternak di NTT.
“Prosesnya sudah sesuai aturan. Selama ada sapi, rekomendasi pasti keluar dari Dinas Peternakan. Ini sengaja dimainkan oleh oknum yang tak bertanggung jawab,” ujar David.
Ia menambahkan bahwa pemberian rekomendasi tidak hanya diberikan kepada pengusaha dari daerah asalnya saja, tetapi terbuka untuk siapa saja selama memenuhi persyaratan.
David berharap, dengan telah disepakatinya revisi Pergub oleh DPRD, pemerintah dapat segera menindaklanjuti melalui proses legislasi yang sesuai dan menghasilkan regulasi yang lebih adaptif dengan kondisi riil peternakan di NTT.
“Semoga dalam waktu dekat revisinya segera disahkan, agar peternakan di NTT bisa lebih maju dan memberi manfaat lebih besar bagi petani dan pengusaha lokal,” harapnya.
Sebelumnya, dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara HP2SK bersama DPRD NTT yang digelar Rabu (23/4) lalu, Komisi II DPRD Nusa Tenggara Timur (NTT) menyatakan sepakat untuk mendorong revisi Peraturan Gubernur (Pergub) NTT Nomor 52 Tahun 2023 tentang Tata Niaga Ternak. Revisi ini dipandang perlu menyusul ketidaksesuaian beberapa ketentuan dalam regulasi tersebut dengan kondisi di lapangan, khususnya syarat berat minimal ternak yang hendak dikirim antarpulau sebesar 275 kilogram.
Wakil Ketua Komisi II DPRD NTT, Yunus Takandewa, menegaskan bahwa seluruh pimpinan dan anggota Komisi II sepakat untuk meninjau ulang Pergub tersebut. Ia mengatakan, DPRD telah melakukan uji petik di sejumlah daerah dan menemukan sejumlah permasalahan, termasuk dampak dari syarat berat minimum yang dinilai menyulitkan pengusaha ternak.
“Kami meminta Pemerintah Provinsi segera merevisi Pergub 52 Tahun 2023 karena ada beberapa substansi yang tidak memenuhi syarat dan tidak relevan lagi dengan kondisi sekarang,” ujar Yunus usai Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Dinas Peternakan NTT dan para pelaku usaha, Rabu (23/4).
Yunus menyebut, syarat bobot minimal ternak 275 kilogram sulit dipenuhi oleh para pelaku usaha, terutama yang berskala kecil. Selain itu, aturan lain yang mewajibkan pengusaha memiliki lahan penggembalaan minimal 50 hektar juga dianggap tidak realistis.
“Kondisi ini menghambat proses distribusi dan menyebabkan penumpukan ternak di karantina. Akibatnya, biaya pemeliharaan meningkat, berat ternak berkurang, dan harga jual ikut anjlok,” tegasnya.
Ia juga menyoroti potensi monopoli dalam tata niaga ternak dan menekankan pentingnya menciptakan sistem yang adil dan terbuka bagi seluruh pelaku usaha.
Menanggapi hal tersebut, Kepala Dinas Peternakan Provinsi NTT Yohanes Oktavianus mengatakan, pemerintah daerah telah menindaklanjuti masukan dari DPRD dan pelaku usaha. Saat ini, kata dia, kajian terhadap Pergub 52 Tahun 2023 sedang dilakukan untuk menghasilkan regulasi yang lebih adaptif dan berpihak kepada semua pihak.
“Keluhan yang paling banyak disampaikan memang soal bobot ternak. Kita sedang proses revisi agar lebih fleksibel dan sesuai dengan kondisi di lapangan,” kata Yohanes.
Ia memastikan bahwa proses revisi dilakukan dengan tetap mengutamakan kualitas dan keberlanjutan tata niaga ternak di NTT.
“Tahun ini kita targetkan pengiriman ternak sebanyak 57.604 ekor, termasuk 49.716 ekor sapi, 3.807 ekor kerbau, dan 4.081 ekor kuda. Target ini harus tercapai, dan untuk itu perlu kebijakan yang mendukung pelaku usaha,” jelasnya.
Sementara itu, Kepala Ombudsman RI Perwakilan NTT, Darius Beda Daton menyambut baik dukungan DPRD NTT dan Dinas Peternakan Provinsi NTT untuk merevisi Pergub 52 Tahun 2003 yang mensyaratkan berat sapi 275 kg jika diantarpulaukan.
“Revisi ini harus segera dilakukan guna mendukung para petani peternak kita agar lebih mudah menjual sapi guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Kalau boleh berat sapi antarpulau diturunkan ke 200 kg,” katanya.
“Terima kasih karena Gubernur dan DPRD sudah mendengar keluhan petani peternak kita,” ungkapnya.
Darius juga mengaku akan bersurat resmi ke Gubernur untuk memberi saran perbaikan tata niaga sapi guna percepat SK kuota di bulan Januari, bukan bulan Maret seperti selama ini, termasuk usul revisi berat sapi yang antar pulau menjadi 200 kg.
“Jika SK kuota terbit bulan Maret, petani peternak kita juga sulit jual sapi di bulan Januari Maret,” imbuhnya.
Terkait kewajiban kepada setiap pengusaha sapi untuk menyiapkan rangers seluas 50 hektar menurutnya sangat berat. Ia menyarankan agar Pemda bisa investasi dengan pembangunan holding ground untuk menampung sapi untuk kepentingan pemeriksaan sebelum dikirim. Sama seperti di Balai Karantina sehingga pengusaha tidak perlu siap rangers lagi.
“Cukup holding ground punya pemda. Pemda yang kuota sapi nya besar seperti kab Kupang, TTS dan TTU harusnya bisa siapkan holding ground,” pungkasnya. (MV-red)