Religi

Renungan Katolik; “Mengabdi Hanya Pada Satu Tuhan”

30
×

Renungan Katolik; “Mengabdi Hanya Pada Satu Tuhan”

Sebarkan artikel ini

“Mengabdi Hanya Pada Satu Tuhan”

Oleh RD Leo Mali

 

Metrovisi.com, Kupang (Minggu, 21 September 2025) Ada satu kebenaran yang hendak kita renungkan hari ini: seorang hamba tidak bisa mengabdi kepada dua tuan. Hamba, dalam tradisi Kitab Suci, bukanlah sekadar pekerja bebas atau sekedar pelayan, tetapi pribadi yang seluruh hidupnya terikat pada tuannya. Identitas seorang hamba ditentukan sepenuhnya oleh tuannya. Karena itu seorang hamba tidak mungkin membagi kesetiaan pada dua orang majikan. Ia hanya bisa tunduk pada satu otoritas yang menentukan arah hidupnya. Dalam Injil Lukas 16:10-13 Yesus berbicara tentang hal ini. “Tidak seorang pun dapat mengabdi kepada dua tuan.

Yesus membandingkan kesetiaan seorang hamba pada tuannya dengan kesetiaan seorang beriman pada Tuhan. Kesetiaan pada Tuhan itu tidak dapat dibagi. Karena itu Ia menegaskan “Kamu tidak dapat mengabdi kepada Allah dan kepada Mamon.” (Luk. 16:13). Kata Mamon dalam injil Lukas berasal dari bahasa Aram Mamonas yang dalam bahasa Ibrani Mamon. Makna awal mulanya adalah kekayaan, harta benda atau milik duniawi. Dalam Lukas, Yesus memakai kata Mamon untuk merepresentasikan kekayaan yang menipu, yang bisa menyesatkan manusia dan yang kerap diperoleh dengan cara menipu. Mamon membuat seseorang terobsesi padanya dan dengan begitu ia akhirnya menjadi semacam berhala yang menguasai hidup manusia. Sehingga Mamon benar-benar kontras dengan Allah.

Kalau keterikatan dengan Allah melahirkan kebebasan maka keterikatan dengan mamon akan membelenggu manusia. Maka nasehat Yesus bahwa, Seorang hamba tidak dapat mengabdi kepada Allah dan kepada mamon (Luk. 16:13), bukan cuma sebuah peringatan moral biasa, melainkan sebuah panggilan eksistensial. Hidup manusia harus punya pusat orientasinya: apakah Allah yang menjadi Tuan, ataukah kekayaan, kuasa, dan ego yang mengambil alih takhta hati.

Peringatan Yesus akan Allah sebagai pusat orientasi hidup sebelumnya diingatkan juga oleh Nabi Amos dalam kritiknya terhadap praktek ketidakadilan yang dilakukan oleh orang yang rajin beribadah tetapi hatinya serakah. Orang-orang serakah pada masa amos menantikan berakhirnya hari Sabat, bukan untuk memuliakan Allah, melainkan untuk kembali menipu, mengurangi takaran, dan memperkecil timbangan demi keuntungan. Amos mengingatkan bahwa praktek menipu tidak berkenan pada Allah (Am. 8:7). Dalam7 pelbagai tindakan pemerasan kita melihat wajah dari orang-orang yang “mengabdi dua tuan”: secara lahiriah mereka beribadah, tetapi secara batiniah tunduk kepada berhala keserakahan dan menjadi pemeras tanpa perasaan.

Kemarin ada seorang bapak yang datang menemui saya. Ia seorang abdi negara. Sudah 25 tahun mengabdi di sebuah institusi negara. Giliran mau naik pangkat, panitia dari institusi itu (yang ia kenal benar rajin beribadat di sebuah Gereja) memintanya membayar 300 juta. Katanya perintah institusi. Ia tahu, itu tidak mungkin ia lakukan. Kalau ia lakukan maka sisa masa tugasnya hanya akan diisi dengan pelbagai praktek pemerasan untuk mendapatkan kembali uang setoran kenaikan pangkat itu. Ia tidak berdaya dan mundur. Hatinya tidak rela.

Bagaimana kita membebaskan diri dari perilaku sesat yang mendua ini? Paulus dalam suratnya kepada Timotius menawarkan jalan keluar: doa syafaat, ucapan syukur, dan kesalehan. Ia menegaskan bahwa Allah menghendaki semua orang diselamatkan dan datang pada pengetahuan akan kebenaran (1Tim. 2:4). Dengan kata lain, iman yang murni tidak bercabang, melainkan mengalir dalam kesetiaan yang konkret: menyembah Allah yang satu, sambil menjadikan hidup sebagai persembahan doa dan pelayanan bagi sesama.

Persoalan “mengabdi dua tuan” adalah persoalan kita semua. Sering kali kita jatuh dalam dualisme hati: bibir mengaku Tuhan, tetapi hati lebih mengandalkan uang; kita berdoa, tetapi keputusan-keputusan hidup lebih ditentukan oleh gengsi dan ambisi. Hamba Allah sejati adalah ia yang menyatukan seluruh hidupnya dalam kesetiaan kepada Kristus. Seperti seorang hamba, ia tidak punya hak untuk memilih dua arah. Ia hanya punya satu arah: kehendak tuannya. Dalam terang iman Kristiani, kehendak Allah itu bukanlah belenggu, melainkan jalan menuju kebebasan sejati. Karena itu Yesus berkata: “Barangsiapa setia dalam perkara kecil, ia setia juga dalam perkara besar.” (Luk. 16:10). Kesetiaan yang kecil, jujur dalam pekerjaan, adil dalam memperlakukan orang lain, tekun dalam doa, adalah tanda bahwa kita sungguh mengabdi kepada Allah.

Dunia modern sering menawarkan banyak “tuan”: uang, teknologi, popularitas, bahkan ideologi. Semuanya baik. Tapi di hadapan semua ini iman menuntut kita untuk membuat sebuah pilihan radikal: hanya Allah yang menjadi pusat. Marilah kita belajar menjadi hamba yang setia kepada satu Allah. Hamba yang tahu bahwa hidupnya adalah milik Tuhan yang penuh kasih. Kiranya sabda Tuhan hari ini menolong kita untuk berani berdoa: “Tuhanku hanyalah Engkau, Allah yang hidup. Segala sesuatu yang lain hanyalah sarana untuk semakin mengabdi-Mu.” (MV-red)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *